
(02112010)
Petang belum sampai tapi siang telah berlalu sungguh tak terasa. Sebuah semangat baru telah tercetus untuk segera melangkah lagi. Sebuah teka-teki alam untuk lebih bersyukur kepada yang membuatnya. Meski hujan terus saja berlalu, namun tak menyurutkan langkahku untuk menuju-mu. Biar semua menjadi bumbu perjalanan hidup yang baru dan yakin semakin berliku. Karena tak selalu ku temukan semangat yang seperti ini.
Memang tak lazim dengan keadaanku yang sekarang ini, seolah ku tak percaya dengan takdiNya. Tapi bukan itu yang terasa olehku, sebuah kerinduan yang sangat tuk kembali menyapa sang semesta. Biarlah orang berkata apa, karena Cuma aku yang dapat merasakannya. Karena sejatinya semua yang terjadi padaku tak sedikitpun berdampak buat orang lain.
Dan kini aku telah sampai di sebuah persimpangan menjuju sebuah titik awal langkahku. Sebuah tempat dimana semua orang berjibaku menentukan arah kehidupannya. Dan semua itu sudah barang tentu jalur dan rintangannya pun berbeda.
Hujan terus saja mengguyur bumui, sampai-sampai bumi tak kuasa lagi menampungnya petang ini. Melangkahpun ragu tak tentu arah, diriku masih menunggu suatu langkah pasti sebuah dimensi yang diriku pun belum mengenalnya.
Sesaat kuperhatikan setiap air yang menetes membasahi bumi, seakan mereka enggan jatuh dan berusaha loncat lagi ke atas. Tapi apalah daya gravitasi tak mungkin dapat dilawan lagi. Begitu pula yang terjadi pada manusia, selalu ingin di atas dan enggan merasakan apa yang ada di bawah sini. Begitu terjatuh mereka langsung mencoba bangkit lagi bagaimanapun caranya. Dan itu pun ada yang berhasil dan banyak pula yang harus gagal. Dan itu semua memang sebuah gravitasi sang takdir yang tak dapat kita tentukan. Itu semua sedikit pengamatanku tentang fenomena hidup di kala aku masih menunggu kegelisahan yang tak kunjung reda.
(03112010)
Mentari pagi masih saja malu-malu untuk menampakkan senyum keperkasaannya dan memilih berselimut awan mendung. Aku pun terus berharap alam mau menyambutku dengan senyum hangatnya hari ini. Ditemani segelas kopi panas yang membantuku menelan semua keraguan yang terasa.
Namun waktu terus beranjak dan sang raja hari mulai sedikit menampakkan wajahnya dan melelehkan dedaunan di sekitarku. Dan semakin sirna pula semua keraguanku dan lebih memantapkan awal langkahku. Sungguh “hari yang indah, langitnya biru cerah” kata Band Netral.
Sekarang langkahku pun dimulai dari sini, menyusuri jalan setapak yang belum pernah kulalui sebelumnya namun serasa tak asing lagi. Hamparan sawah yang masih hijau seperti lapangan yang sangat luas. Kemudian beranjak menemui sebuah perkebunan yang subur dan seringkali ku jumpai pohon teh yang tak begitu tertata. Terus mengikuti aliran suara gemercik air sungai yang tak begitu deras.
Keringat begitu deras membanjiri seluruh tubuh dan bercampur dengan sejuknya udara pegunungan yang menusuk hingga ke relung. Dan setelah semua itu terlewati, sampai juga di tempat segala letih dapat sedikit terobati dan untuk sekedar menghadapMu.
Kabut yang semula tipis beranjak terus menebal seiring datangnya sang petang yang menggulitakan pandanganku. Segelas lopi kembali menemani sela-sela istirahat dan cengkrama kami yang mungkin sudah tak biasa lagi. Karena memang perjalanan kami yang tak biasa pula dengan perjalanan sebelumnya.
Malam semakin larut seperti kami yang terlarut dalam obrolan panjang dan tak tentu pokok bahasan. Dingin mulai terasa sangat menusuk-nusuk tulang dan cengkrama pun mulai beralih sebuah keputusan untuk merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Tapi diriku belum juga terlelap, dan sugesti-sugesti negatif mulai bermunculan di dalam otak. Keadaan mulai mencekam, suara binatang-binatang malam mulai jelas terdengar. Semakin erat kugenggam selimut yang menutupi tubuh dan tak mau membuka mata. Guyuram hujan deras melengkapi suasana mencekam malam ini.
(04112010)
Tak terasa setelah membuka mata ternyata di sekitarku sudah nampak jelas dan ternyata pagi menyambut. Lega rasanya setelah apa yang terlewati tadi malam berakhir juga. Dan mulailah kusapu semua dingin yang ada dengan semangat yang sangat menggebu dan sarapan seadanya tak lupa lagi-lagi kopi panas yang sedikit berasa sabun,hahaha......
Sekiranya semua telah siap kita berangkat melangkahkan kaki menuju perjalanan yang sesungguhnya. Masih melewati jalan setapak dan terlihat sering digunakan orang buat mendirikan tenda. Setelah menempuh jarak 100m mulai terdengar suara gemuruh yang ternyata suara air terjun. Bukan satu air terjun yang dijumpai, malahan dua. Memang yang pertama tak terlalu tinggi dibandingkan yang kedua. Alangkah sejuknya hati setelah mendekatinya, seakan tak peduli apa yang sedang terjadi dalam hidup. Sungguh indah hidup ini, air selalu pasrah untuk apa yang telah ditakdirkan untuknya, dengan terus mengalir ke tempat yang lebih rendah.
Namun sempat terkejut dengan apa yang terjadi dengan tebing di sebelahnya, tebing yang begitu tinggi longsor tak tertahankan. Tanah dan bebatuan besar terkapar tak bedaya setelah apa yang terjadi pada mereka. Mau protespun pada siapa?????. Sungguh ironis memang apa yang terlihat saat ini, saat alam bersedih tapi masih mampu menampakkan keindahannya yang sangat dhasyat. Tapi apa daya tangan ini hanya mampu sedikit membantu dengan selalu berjabat tangan denganmu dan mencoba untuk selalu belajar tentangmu.
Setelah sejenak menikmati dan merenungi apa yang terjadi, perjalanan dilanjutkan dengan hati bimbang tentang cuaca yang ada. Lansung saja kami disuguhkan jalan menanjak yang lumayan panjang dan yang pasti sangat menguras tenaga dan keringat. Burangrang memang menyajikan suguhan alam yang masih sangat alami. Terlihat dari jalur yang kami tempuh masih banyak yang tertutup oleh pepohonan atau rumput liar. Yang menandakan masih minimnya eksploitasi dari tangan-tangan manusia, dan juga jalur yang kami ambil jarang digunakan oleh para pendaki.
Banyak juga pohon-pohon besar yang tumbang dan menutupi jalur pendakian sehingga sering menyusahkan kami untuk jalan memutar dan itu sungguh menguras tenaga dan fikiran. Tak jarang pula kami harus membuka jalan biar pendaki setelah kami tidak terlalu kesulitan menentukan arah. Setelah beberapa jam berjalan, hujan turun sangat deras. Dan semua itu sedikit mengecilkan kemantapan hati kami untuk menggapai puncak. Namun disela ke-pesimis-an kami, berpapasanlah kami dengan dua orang pencari kayu dan kami bertanya mungkin kami tersesat. Ternyata kami tidak tersesat, dan diberi tahu agar terus saja mengikuti jalur ini. Memang banyak tanda menuju puncak tadinya, tapi seiring waktu dan fenomena alam tak sedikit tanda yang hilang atau rusak.
Sambil berbasah-basah ria kami terus berjalan menyusuri jalan setapak yang sedikit tertutup tanaman liar. Dan tak lama kemudian kami sampai di sebuah tempat yang sedikit landai seperti puncak tapi masih bukan puncak. Dan kami melihat sebuah prasasti yang bertuliskan tentang mengenal dua orang yang wafat dalam pendakian. Badan kami yang basah kuyup dan menggigil serentak merinding melihat apa yang ada di hadapan kami. Namun itu bukan suatu hal yang harus ditakutkan, dan kami pun mengirimkan do’a untuk saudara-saudara kami yang telah tiada itu.
Dan kemudian perjalanan kami lanjutkan dengan hati sedikit bertanya-tanya tentang bagaimana saudara kami yang telah tiada itu. Tapi yah sudahlah semua memang harus terjadi seperti itu. Dan tak lama kemudian kami menemui apa yang dinamakan “puncak gunung Burangrang”. Namun alangkah kecewanya karena kami tak dapat menemukan tugu yang menjadi tanda bahwa ini adalah puncak Burangrang. Yang kami temukan hanyalah sebuah fondasi bekas tugu itu berdiri. Dan kami harus sedikit menghela nafas dan menelan kekecewaan kami.
Tak lama-lama ambil pusing kami bergegas beranjak dari puncak dan meneruskan perjalanan dan hendak mencari jalan turun menuju Wanayasa. Dengan hanya berbekal kompas kami pun lurus mengikuti jalur puncak. Tapi setelah beberapa lama kami tak juga menemukan jalan menurun, kondisi perut yang keroncongan dan hujan belum juga berhenti. Setelah memperhitungkan waktu, kami putuskan untuk meneruskan perjalanan sambil mengemil mie instan yang seharusnya jadi lauk nasi. Hehe maklum lah kondisi darurat….
Berjalan terus dan terus berjalan sampailah juga di sebuah persimpangan yang kami yakin arah kiri menuju situ lembang. Tapi kami memilih lurus dan berharap sampai di Wanayasa. Setelah dirasa kondisi fisik yang menurun dan sang waktu tak lagi bersahabat, maka kami membulatkan tekad untuk “potong kompas” menuju situ lembang. Apa yang terjadi nanti biarlah nanti kami rasakan, begitu paksaan dari kondisi kami.
Dengan segera kami menuruni jalan yang kami buat sendiri dan berharap dapat menemukan jalur situ lembang yang tadi kami lewatkan. Semak belukar kami lewati dan tak jadi arti lagi, tersungkur, terperosok, terpeleset dan kadang menghindari gelundungan batu dari tanah rapuh yang kami pijak, itu yang kami alami. Lagi-lagi pohon tumbang jadi penghalang perjalanan ini dan kami harus memutar arah dan sesekali melihat arah kompas.
Setelah mungkin lebih dari setengah jam kami pasrah terhadap apa yang akan terjadi pada kami akhirnya kami menemukan jalur terusan menuju situ lembang. Dan aku mengira aku telah menemukan Tuhan di sini. Perjalan masih belum berakhir, karena setelah kuperhatikan kami mengitari situ lembang. Menyisir dari ujung ke ujung yang pada dasarnya situ lembang bukanlah danau yang kecil.
Keberuntungan yang lain bagi kami bahwa tempat yang kami lewati tidak sedang dipakai buat latihan perang oleh KOPASSUS. Jika itu terjadi, apa boleh buat kami harus kembali lagi mencari jalan lain yang tak bukan adalah jalur kami naik.
Dan setelah sampai di ujung jalan setapak kami menemukan yang namanya situ lembang. Ingin rasanya loncat kayak anak kecil yang baru mendapat balon gratis saking senengnya. Makanya aku bilang “Tuhan ada di Situ Lembang”. Namun seorang penjaga menghampiri kami dan menegur agar segera meninggalkan lokasi ini, karena ini “lokasi tertutup” katanya sambil sedikit berbasa-basi.
Setelah mendapat informasi bahwa dari situ lembang menuju jalan raya cisarua berjarak 12km, tak peduli kami pun beranjak dengan segera karena waktu mepet. Lagi-lagi mie instan dan hujan menemani perjalanan melelahkan kami karena masak nasipun tak sempat.
Gelap mulai menggulita dan kami masih menyusuri jalan yang diapit oleh hutan lindung “milik PERHUTANI” menuju pos gerbang. Jalan berkelok-kelok tapi tak juga kami temui gerbang masuk situ lembang. Berjalan membelah kegelapan malam yang tak tau dimana ujungnya berselimut kabut tipis dan ditemani rintik hujan. Lengkap sudah perjalanan kali ini dengan bahan cerita yang mengenaskan.
Tapi apa yang dicari-cari akhirnya terlihat juga, sebuah pondok kecil yang di jaga oleh empat orang aparat. Dan akhirnya kami melapor dan istirahat melepas lelah sejenak. Mereka menawarkan makanan dan air panas buat kami, memang suatu kebetulan yang benar,hehe... kami ditanya ini-itu dan akhirnya ngobrol ngalor-ngidul. Mereka juga banyak cerita tentang pengalaman mereka dulu dari waktu masih siswa sampai jadi pelatih. Terima kasih banyak bapak-bapak penjaga......
Malam makin larut dan hujan mulai reda, kami segera memohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Sebenarnya para penjaga yang baik itu menawarkan kami untuk tidur di pos jaga, tapi kami gak mau terlalu banyak merepotkan. Dan kami pun menghilang bersama gelapnya malam menyusuri jalan sepanjang 2km lebih menuju jalan utama Cisarua. Sesampainya di jalan raya memang sudah tak ada angkutan umum yang lewat, karena sudah terlalu malam. Berjalan membawa beban berat pun sudah menjadi keharusan dalam dua hari ini. Setelah kira-kira berjalan 300meter aku merasa kami salah arah dan memutuskan untuk kembali ke arah yang tadi dan meneruskannya.
Setelah melewati terminal Cisarua kami bertemu dengan seorang pejalan kaki yang juga kemaleman di jalan. Kami pun terlibat obrolan dan berkenalan satu sama lain. Ternyata di bernama “kang Cacing”, yang hendak menuju tempat kerjanya di CIC malam itu. Sungguh baik hatinya beliau menawarkan untuk singgah dan bermalam di tempatnya itu. Memang tak terlalu jauh dari terminal Cisarua. Karena hujan mulai turun lagi dan kondisi badan sudah tak lagi memungkinkan untuk melanjutkan, tanpa fikir panjang kami langsung menerima tawaran tersebut. Memang jarak tempuh dari jalan raya ke tempat kang cacing sepanjang 2km dan menanjak. Tapi jika dibandingkan dengan sisa perjalanan kami yang masih sangat jauh maka lebih baik istirahat dulu. Setelah sampai kami disediakan kamar tidur dengan kasur yang tak terlalu empuk tapi sangat nyaman. Semua ini yang tak akan terlupakan dari perjalananku kali ini. Sambil merasakan betapa tubuh ini telah berjuang selama dua hari, mataku mulai meredup dalam balutan selimut yang menghangatkan sekujur tubuh.
(05112010)
Saat pagi menjelang suasana pun berubah drastis, betapa tidak yang selama ini kami lihat hanya pepohonan dan gelap. Tapi perjalanan masih belum berakhir, dan kita harus menempuh jarak yang berkilo-kilo jauhnya. Tapi kami seolah tak peduli dan memang ini semua yang harus dijalani. Setelah empat jam berjalan maka sampailah kita di jalan raya lembang dan dunia serasa kembali terbuka lebar. Aku mengusulkan untuk bertandang ke rumah saudara sekedar untuk membersihkan diri dan beristirahat sejenak sekalian silaturrahmi.
Sampai pula di tempat yang dituju, dan kami lansung mengeringkan semua pakaian yang basah akibat hujan ataupun keringat dan membersihkan badan yang pasti bau tujuh belas rupa. Kemudian sambil istirahat sejenak sambil mencari charger alat komunikasi yang masih mati karena lowbat. Kembali kami menyusuri jalan raya lembang dan berhenti di tiap konter guna meminjam charger. Namun beberapa konter yang kami singgahi tidak dapat memberi bantuan pada kami. Kemudian tibalah kami di sebuah konter di daerah Gudang Kahuripan dan langsung kami utarakan maksud kami. Dan alangkah senangnya, ibu yang punya konter berbaik hati meminjamkan charger dan menawarkan sekedar kopi buat kami.
Setelah beberapa lama alat kmunikasi kami berfungsi dan perjuangan di dunia maya dimulai. Mulailah menghubungi teman atau kerabat terdekat buat minta bantuan untuk mengakhiri perjalanan kami kali ini. Mayday…..mayday….. Dan kami dapat respon yang menggembirakan dari seorang teman. Kang Dadan, begitu nama seorang teman yang mau membantu kami. Tapi tak disangka dan diduga C’bray seorang teman juga lewat saat kami menunggu Kang Dadan. Spontan kami langsung berteriak memanggil dia, rasa malu terasa tak ada waktu itu.
Saat kami ngobrol-ngobrol dan sedikit “meloby”, datanglah Kang Dadan yang kami tunggu-tunggu. Setelah berkumpul sejenak dan bercerita permasalahan kami, kemudian kita sepakat untuk kembali ke dunia masing-masing. Karena waktu yang hampir petang dan hujan mulai turun lagi.
Dengan segala rangkaian perasaan yang telah kurasakan, aku berpisah dengan mereka. Menuruni jalan lembang lewat Setiabudhi menuju Cibiru tempat dimana segala masalah akan terasa lagi. Di dalam angkot yang hampir penuh penumpang, fikiranku kembali pada masa perjalananku sebelumnya. Tentang beberapa sosok Tuhan yang telah ku temukan.
Tapi sepanjang perjalananku tak akan terasa tanpa lebih berarti tanpa mereka hadir disela-sela perjalananku. Syifaul Huzni yang telah mendukung awal langkah perjalananku. Ara Semesta yang telah membuka alur perjalanan tentang lebih memaknai hidup, semangat terus lur. Bapak-bapak pencari kayu, semoga alam senantiasa mau berbagi dengan kita. Trus buat bapak-bapak aparat penjaga pos, terus ceria ya pak???? Semoga segala pengabdian kalian dapat dirasakan kembali oleh kami atau kami-kami yang lainnya. Kemudian pada Kang Cacing yang mengajarkan padaku tentang arti ketulusan yang sesunggunya. Semua yang kau lakukan tak akan gampang terlupakan kang. Bibiku dan keluarga tercinta terima kasih untuk semua pengertian yang kalian berikan. Dan tak lupa buat Ibu konter yang sangat baik hati dan tak memandang miring pada kami. Dan yang tak kalah penting bagi kami bahwa Bray dan Kang Dadan yang telah membuat kami sadar bahwa kami masih berarti bagi orang lain. Sehingga orang lain mau berbuat banyak untuk kita.
Terima kasih Alam Semesta yang telah mempertemukanku dengan rupa Tuhan yang begitu terasa indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar